Sabtu, 26 Desember 2009

Goresan "Menanti Maut" By : Ashelard

Menanti Maut…

Bunga yang tumbuh pada gundukan musim,
Menebar bau amis kematianku.
Dahan yang patah tertancap pada tanah menguning,
“Itikah batu nisanku?”

Daun pun gugur meninggalkan tempatnya tumbuh,
Kerena daun yang gugur itu adalah kafanku!
Dan akar kamboja memucat melepaskancengkramannya dari tanah,
Seperti nyawaku yang segera hilang…

Kunanti kematianku di sini,
Penuh harap sungai-sungai jernih,
Penuh do’a telaga madu,
Karena sebentar lagi aku akan hidup,
Menempuh kekekalanku yang abadi,

Kuananti kematianku….
Di sini…
Di telaga penghabisan….
dan Di pucuk kepasrahan….

Goresan 3 " Permai di Dada Ombak" By : Ashelard

Permai di Dada Ombak

Jikalau telah saatnya datang,
saat berganti suatu kehidupan,
maka bayi yang lahir hari itu
adalah bayi yang telah terbang,
bayi yang sanggup merangkak di atas awan lepas,
bayi yang telah dewasa bersama agin lepas,
bayi yang berdiri sediri bersama karang lepas,
bayi yang tumbuh tanpa rengekan manja,
karena bayi itu begitu permai
di dada sang ombak..

Jikalau bisa mengayunkan tangan,
maka seharusnya bayi itu adalah permata,
menjadi mujahid yang tertempa,
memperjuangkah hak bangsanya,
mempertahankan kehidupan kaumnya,
tangguh dan kekar membentengi negri nan mulia,
negri para nabi,
karena bayi itu begitu permai
didada sang ombak....

Jikalau dapat melemparkan isi lautan,
tubuh kecil itu kelak akan jadi pejuang,
berbekal takbir, berbekal kerikil,
bebaskan bangsa dari belenggu durjana,
karena bayi itu begitu permai....
dan seharsunya bayi itu tetap ada dan tumbuh,
bangkit di mahkota Al-Aqsa...

Jikalau dapat menjamah,
ingin sekali merenggut bayi itu kembali di sini,
ingin sekali melihat kobaran syahid daiamat sang bayi, namun.....
bayi itu........
telah jauh melangkahi jasadnya yang polos,
menangis dalam keharuan negri,
dan damai di dada sang ombak....

Goresan "Tanah Yang Ada" By : Ashelard

Tanah Yang Ada

Suatu hari terkisah,
Tentang tanah yang dahulu ada,
Tentang tanah yang dahulu jaya,
Tentang tanah yang dahulu ku miliki,
Tanah yang ingin kujamah.

Suatu malam terkisah,
Tentang perjuangan panjang pejuang-pejuang kami,
Berperang melawan Quraisy,
Mencari pruntukkan nasib,
Mencari ketenangan, mencari kehidupan,
Di tanah pusaka,
Tanah yang dulu ada.

Suatu sore terkisah,
Tentang perjuanganku, untuk tanah ku,
Suatu pagi terkisah
Tentang kejayaanku di tanah ku,
Suatu saat terkisah, tentang mimpi ku,
Tentang segalanya,
Tentang kemenangan ku,
Atu kekalahan ku, di tanah leluhur,
Tanah yang ada.......
Yang telah hilang direnggut pendurhaka,
Palestina...!!!

Goresan "Pasung Ketakutanku"

Pasung Ketakutanku

Berhembus jua musim yang petang,
Menyirami langit dengan kelabu yang terurai meniti malam,
Kupasung momok ngeri yang hendak memindahkan pena,
Karena tiap goresan itu bukan untuk kematian,
Namun hidup baru seiring terpenggalnya seluruh ketakutan,

“Hei………
Apakah ada keranda untuk mengusung mayat yang telah berceceran itu?
Apakah cukup sehelai kafan untuk menyelimutinya?
Benarkah kau telah memasung rasa yakut itu?
Atau mungkin kau adalah ketakutan itu,
Yang memenggal kepalamu sendiri!”

Aku tidak benar-benar tau apa yang menimpaku,
Aku tak terlalu paham tentang hembusan di musim itu,
Karena…..
Aku telah hilang….

APEL CINTA ALI DAN FATIMAH (Naskah Lomba Cipta Cerpen STAIN PURWOKERTI & OBSESI PRESS)

APEL CINTA ALI DAN FATIMAH
Awal Minggu di Februari 2000
Aku akan merantau, ya Aku telah menentukan jalan ini, merantau sebagi musafir yang ingin merasakan gejolak hidup untuk menyemai bunga di Masa hadapan. Anak ingusan, anak bungsu, anak kota yang hendak menapaki luasnya hamparan katulistiwa Ilahi, yang tidak berbekal harta, hanya berbekal semangat bahwa ia akan menemukan garis finish hidupnya sendiri. Ijazah dan gelar kutanggalkan di kotAku, di dalam rumahku. Ku pinta izin Ibunda dan semua sanak saudara, kakak-kakakku, nenek, keponakanku, dan yang ada di sini, Aku hanya meminta waktu dua tahun pertama untuk merantau, yang dari dua tahun itu adalah tolak ukur target selanjutnya.
“Bu, kalau dalaam dua tahun Habib pergi Habib belum menemukan apa yang Habib cari, Habib akan pulang kok,”
“Memangnya yang dicari itu apa to Le, kalu cuma nyambut gawe mbok di sini kan yi iso,”
“Habib pengen kayak Bapak, Bapak dulu kan juga pernah merantau, sampai ketemu Ibu,”
’O..jadi mau cari jodoh to, mbok ya di sini kan juga banyak le,”
“Ya mungkin itu salah satunya Bu, tapi kan nggak Cuma itu to Bu, ada yang lain,”
Pias wajah itu, tak sanggup kuceritakan, betapa sedih ibu yang akan di tinggalkan anak bungsunya merantau, tetapi….semoga ini adalah jalan yang diridoi Allah, sebagi perlambang perjuangan tiada henti.
***
Kemanapun bus akan melaju keluar kota, itu adalah tujuanku. Aku menunggu bus pertama yang meluncur, “Putra Raflesia” ya Aku menaiki bus itu,
“Mas bus Putra Raflesia menuju kemana Mas?”

“Ke Bengkulu Mas, “
Ya itu berarti tujuanku, selama ini Aku hanya mengetahui bahea Bengkulu adalah salah satu provinsi dai Pulau Sumatra yang kerap menjadi sarang tumbuhnya bunga raksasa Raflesia, selebihnya tidak sama sekali. Beginilah yang dinamakan nekat, tidak menimbang awal dan akhir, yang ada adalah hari ini!
10 Februari 2000
Adalah hari pertamAku setelah sampai di Bengkulu, Aku benar-benar kebingungan kali ini, sungguh di luar yang Aku perkirakan. Bagaimana Aku berkomunikasi itu Masalahnya, hampir semua orang berbicara dengan menggunakan bahasa mereka, banyak dari mereka yang susah untuk berucap bahasa Indonesia. Aku berfikir cepat, berjalan di trotoar, melangkah kemanapun kaki menuju bersama terik tak tertahankan.
“Masjid Irsyadiyah” akhirnya Aku menemukan Masjid. Aku singgah di dalam Masjid itu, melepaskan lelah dan merebahkan penat. Ku atur strategi, berdoa dan bersujud, berpasrah pada kesejukan tiada tara dan pada kehangatan yang menentramkan.
***
Sudah dua hari Aku menginap di Masjid itu, sementara amunisiku kian menipis, telpon genggamku terpaksa harus kugadaikan demi kelangsungan hidupku. Hari-hari semakin terasa berat, “Ya Allah, baru dua hari Aku di tempat ini, jangan biarkan Aku mengeluh selain padamu Ya Allah, sementara perjalanan yang ingin kutempuh begitu panjang, Ya Allah kuatkan hati ini, pastikan bahwa jalan ini adalah jalan yang engkau pilihkan dan terbaik untukku”.
15 Februari 2000
“Ada lowongan Mas, ini infonya,”
Fahri, seorang mahasiswa Universitas Muhamadiyah Bengkulu memberikanku selembar koran yang berisi info, dan “Wah harus ada ijazah S1! sayang sekali ijazahku tidak di bawa, padahal pekerjaan ini sangat cocok denganku, andai saja…….Astaghfirullah, tidak! Aku sudah bertekat untuk berjuang tidak dengan ijazah, Aku harus mandiri tanpa menggunakan apapun gelar dari Yogya, “
“Waduh kayaknya saya kurang cocok nih Mas, syaratnya berat, “
“Sayang sekali Mas, em…tapi pasti ada jalan lain, “
Fahri memegang dagunya sambil menatap langit langit, ekspresi yang mencari inspirasi.
“Bagaimana kalau jadi penjual koran saja Mas, itung-itung sambil mengenal Bengkulu, bagaimana Mas?,”
“Ya bolehlah, minimal untuk mengganjal isi perut, terimakasih lho Mas Fahri sudah mau menolong saya, pantesan Aisyah, Maria, dan Nurul kesemsem, wong rupanya Mas Fahri itu orangnya baik,”
“Ah bisa saja Mas, jangan keras-keras nanti ada yang cemburu lho, besok saya antarkan Mas Habib ketempatnya, semoga ini jadi awal dari kesuksesan Mas Habib kedepan, amin. Tapi kalau jadi orang besar jangan sombong-sombong sama rakyat ya Mas, he..he..”
Karir keduaku setelah profesi dadakan sebagai tukang gadai telpon genggam pribadi, adalah berjualan koran di seputaran Simpang Lima. Dari profesi ini Aku menjadi lebih mengenal Bengkulu serta lebih paham daerah-daerah di Propinsi ini. “Subhanallah……semoga ini akan menjadi batu pertama pengalamanku, dan semoga Aku dapat bertahan….sampai yang ku cari kutemukan.”
***
1 April 2000
Aku sudah mulai akrab dengan kota ini, tinggal dari satu Masjid ke Masjid lainnya. Pekerjaan sebagai tukang Koran tetap ku jalankan, sementara Aku juga melamar di berbagai tempat. Pengalaman bermalam dari satu Masjid keMasjid lain ini membuatku serasa dekat dengan dunia islam, Aku mulai belajar ilmu-ilmu agama, juga mengikuti berbagai pengajian rutin.
Suatu ketika Aku bertemu dengan Ustadz pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam Bengkulu, Ustadz Amir, beliau menawariku sebuah pekerjaan ringan,
“Akh* Antum** mau mengantarkan paket ke sebuah daerah di Bengkulu ini, Kabupaten Kepahiang? Ya kalau Masalah ongkos dan upahnya insyallah lumayan lah untuk tabungan,”
“Oh boleh ustadz, insyallah, asal ada kendaraan dan petunjuk arahnya,”
“Ada, nanti saya jelaskan di Pondok saja,”
“Kapan itu ustadz?”
“Insyallah besok, bisa Akh?”
“Insyallah Ustadz”
Bertengger awan menutupi sela cahaya, menaungi alam dengan lelapnya yang sendu. Tandai tiap gores kesaksian ilahi, menyelinap dalam tubuh-tubuh nan terbujur.
***
“Antum hati-hati di jalan, carilah Pondoknya sampai ketemu dan harus ketemu, insyallah kalau lancar perjalanan ini tidak memakan waktu lebih dari 2 jam. Lalu jika sudah sampai di sana, pastikan antum sendiri yang mengantarkannya kepada Ustadz Zohir, ingat jangan dititipkan pada siapapun meski itu anak atau istri Ustadz Zohir, karena ini adalah amanah buat antum. Dan seandainya antum nanti sudah bertemu dengan Ustadz Zohid dan memberikannya, saya minta antum bermalam barang sehari di sana agar antum lebih mengenal suasana pesantren, bagaimana akh, sanggup?”
“Insyallah ustadz, semoga Allah memudahkan jalan ini”
“Satu lagi akh, seandainya antum nanti di jalan menemui kesulitan, yakinlah bahwa langkah yang antum pilih adalah jalan yang memang ditetapkan Allah, karena Allah lebih tau apa yang terbaik untuk para umatnya dan Allah lebih memahami hamba-Nya melebihi hamba itu sendiri,”
“Maksudnya ustadz?”
***
Hijau bersandar memberikan warnanya pada huluran kalimat-kalimat Allah yang tersebar menjelma mozaik kehidupan, terpaut akan rona pelangi dipanggung kekuatan diri. Bersamaan dengan guliran itu, cahaya yang merambah bilik hati senantaisa membiaskan merahnya lelAku.
“Wah kalau mengantarkan paket seperti ini sih mudah, “ Aku berucap pelan.
Tak terduga, kemudian pekat menyelimuti seluruh hamparan, memutuskan rantai cahaya dan membinasakan kehangatan, mendung itupun semakin mengglayuti kaki langit, semakin jenuh menadah puluhan ton air, dan sesuai kodratnya, hujan tiada tertahan lagi. Aku singgah menuju Masjid di sekiatar daerah itu.
Di tengah kepungan air itu, hanya ada kata menunggu, 20 menit perjalanan ini, tertunda. Hujan tetap tak kunjung reda, hingga kumanadang azan Zuhur, hingga Kumandang azan Ashar, dan hingga kumandang Magrib, Masih tetap hujan. ”Aku memang harus menginap di Masjid itu, mengingat mustahil kulanjutkkan perjalan itu”.
***
Pagiku yang indah, kuregangkan tubuhku setelah terbangun, menikmati tiap basuhan air wudhu, menghayati melodi kumandang adzan, meresapi nyanyian alam sejuk, “Allahuakbar, syukurku ya Allah atas nikmat tiada terkira ini, atas ciptaanMu yang serba indah, dan serba sempurna…”
3 April 2000
Kulanjutkan perjalanan, agar dengan segera Aku bisa mengantarkan paket ini, Aku sudah cukup ditegur Allah karena telah meremehkan amanah, sekecil apapun itu. Aku mulai berbaur dengan kabut dan mendung, dan Aku rehat sejenak di pasar pagi yang kutemui dalam perjalalan.
Suasana pagi itu telah ramai oleh ibu-ibu yang berbelanja sayuran, para sopir yang membawa muatannya (yang pasti sayuran), dan gerobak tarik oleh para kuli disana. Tiba-tiba saja dari sebuah sisi orang ramai berkerumun, seorang nenek berlari terpogoh-pogoh menuju kearahku dengan seorang anak kecil berumur lima tahunan.
“Mas, Mas bisa tolong Ibunya Joni Mas, ibunya Joni mau melahirkan, bisa Mas, tolong Mas, kasihan Ibunya Joni Mas, tolong Mas, antarkan ibunya Joni ke PuskesMas, bisa ya Mas….”
“I..iya Bu’, bisa tapi puskesMasnya dimana Bu, saya ti..”
“nanti Joni akan ikut Mas, pokoknya tolong ibunya Joni Mas, tolong Mas..”
“Ya Bu.. ya..ya…” wajah tua itu, pancaran keikhlasan dan kasih sayang, guratan kerutnya adalah saksi dari perjuangannya….
Kuantarkan Ibu yang hendak melahirkan itu, di apit oleh tangan bocah berumur 5 tahun, namun bisa kurasakan cengramannya yang kuat menopang sang ibu agar tidak oleng, cengkraman yang kuat, ”Mungkin hidup telah menempa bocah kecil itu untuk tumbuh dan berkembang melebihi umurnya….” Kupapah sang ibu setelah turun dari sepeda motor, keringat berkucuran deras di dahi sang Ibu, dan Joni, ia hanya terpAku diam mengikutiku dari belakang sampai sang ibu ditangani oleh Bidan.
“Joni, Mas pulang dulu ya, jaga ibunya baik baik, salam sama ibu dan adik Joni nanti,” senyuman kecil itu mewakili ungkapan hati yang tak terucapkan, bahagianya Joni yang akan memiliki adik,
“Pak, Pak tunggu Pak, “ seorang bidan menghampiriku.
“Bapak harus mengisi surat ini,” kuamati beberapa lembar kertas itu,
“Wah saya bukan suami ibu itu Mbak, saya hanya kebetulan mengantar”
“Iya Pak, tapi harus ada yang bertanggung jawab sebentar sampai ibu itu selesai bersalin,”
Mata joni terlalu polos “Ah Masih jam 09.00” akhirnya Aku mengisi surat-surat itu, sampai sang ibu bersalin. Pukul 13.00 semua Masalah ibu yang melahirkan selesai, Aku bisa melanjutkan perjalanan. ”Maha Suci Allah yang menjadikan bayi yang lahir begitu suci.”
***
Pukul 14.00 WIB, Aku telah sampai ketempat tujuan, Kabupaten Kepahiang. Sebongkah tugu menyambutku. “Upst…Aku lupa menanyakan dimana alamat Pondok Pesantrennya kepada Ustadz Amir, Innalilahi….tapi tak ada waktu berputus asa, Aku tetap harus maju, Aku bisa bertanya kepada siapapun yang kutemuai, Aku pasti menemukannya..” gelora semangat membuncah, kutanyakan pada siapa saja yang kutemui tentang keberadaan Pesantren Al-Jannah, namun satu, dua, tiga, dan entah berapa orang kutemui tidak ada yang tahu persis dimana letak Pondok Pesantren itu. Aku terus menelusuri jalan sambil mengamati kanan kiri, tetapi sia-sia. Satu dua tiga empat dan lima jam Aku mencari belum juga kutemui. Waktu menunjukan pukul 20.00 WIB, “Aku belum shalat isya”. Kulanjutkan pencarianku, melaju entah kemana, namun semakin jauh Aku mengendarai tampak rumah-rumah yang mulai renggang, semakin sepi dan sepi, tidak juga kutemukan Masjid di tempat ini untuk Shalat.
Kuperiksa ranselku untuk mencari secuil bekal, “Wah tidak ada bekal lagi!“ Aku telah kehabisan bekal, sementara di depan dan belakangku adalah tempat yang begitu sepi, hanya cahaya bulan tanggal 10 yang menerangi. “Maju atau mundur..” ya Aku dilanda kebingungan, didepanku kegelapan berkuasa bersama kesunyian, tidak tampak ada tanda-tanda perumahan sepertinya, dan sepeda motorku yang juga mulai kritis, entah akan berhenti dimana..”Jika Aku kembali, Aku tak tau sampai dimana akan berhenti dan Aku tau tidak akan ada Masjid untuk bermalam, tetapi jika Aku maju, Aku…tidak tau apa yang ada di depanku dan aku…Astaghfirullah, bukankan Allah selalu bersama hamba-Nya yang yakin, kenapa Aku menjadi begitu pengecut, Allah tidak akan mnenelantarkanku.” kuputuskan maju….
Roda speda motorku membopongku pada jalan yang disanding persawahan begitu luas dan tampak terang oleh cahaya bulan, namun sepi dari cahaya keberadaan orang, Aku terus melanjutkan perjalananku dan sampai pada jalan yang di apit kebun kopi dengan batangnya yang tinggi-tinggi serta gelap, “La Tahzan Ali..Aku adalah Ali sahabat Rasullulah yang tidak pernah gentar oleh musuh…” usahaku menyemangati diri. Kebun kopi itu seperti tidak pernah habis kujelajahi, terus mengitariku dan “Hutan di depanku..” Aku mulai ciut kembali, “Ya Allah salahkah Aku jika Aku tAkut..??” Aku benar-benar mulai merasakan ketAkutan, “Maju atau mundur…Ya Allah kuatkan Aku Ya Allah, kuatkan hamba yang lemah ini ya Allah…berilah petunjuk Ya Allah…” ku lihat jam tanganku, 23.00 WIB, Allahuakbar……Astaghfirulah… Aku terpekur diam dan bingung,
Guncangan dada semakin menelusup bebas menembus ingatanku dan melukai keberanianku, “Yas alunaka anil anfal….kulil anfalulillahi warosul….” Sayup terbawa angin kudengarkan suara orang mengaji, dari balik hutan itu, “Itukah jalan yang Engkau pilihkan Ya Allah? Ya pasti itu adalah petunjuk Allah, dan…kenapa Aku musti tAkut, Aku tidak melAkukan apa-apa”, dan bismillah kusambangi hutan itu.
Cahaya rembulan kian redup dan menghilang oleh besar dan tingginya pohon, di dalam hutan itu langsung menjelma kegelapan, bersyukur Sepeda Motorku cukup menerangi jalan, membawaku semakin jauh Masuk kedalam hutan “Bruk..” Aku terjatuh melewati jalan yang cukup becek, ku papah sepeda motor mencoba untuk ku kunyalakan kembali, “Masyallah, jangan-jangan bensinnya habis….”Aku mulai panik, keringat dingin mengucur, “Tidak ada waktu untuk gentar! “ kudorong sepeda motorku.
Selang sepuluh menit Aku mendorong, yang kulihat.... “Subhanallah…” gemerlap lampu menerangi sudut jalan, dan tepat dihadapanku terpampang papan berukuran besar “Selamat Datang di Desa Pulau Rayu Kabupaten Kepahiang” dan di bawahnya tertulis “Pondok Pesantren Al Jannah 20 Meter” Allahuakbar…
Kudorong sepeda motorku kembali, Pukul 00.00 WIB Aku sampai di pesantren tujuanku, segera Aku Masuk ke dalamnya,
“Assalamu’alaikum, Maaf Pak mengganggu, kalau boleh tau ada perlu apa ya berkunjung tengah malam ke sini?”
Aku tekejut, seorang anak berusia 16an tahun menyapAku,
“Wa’alaikumsalam, oh ya..anu..em..maaf mungkin kedatangan saya kurang sopan, tetapi saya utusan Ustadz Amir,”
“Oh..ustadz Amir, mari silahkan Masuk,” Aku diajak meMasuki Masjid itu.
“Mas tunggu sebentar disini, saya akan menemui Ustazah Fatimah.”
Lalu anak itu meMasuki sisi lain Masjid ini, menemui seorang wanita yang kudengar bacaan al qur’annya begitu merdu, “Andai wanita seperti itu adalah jodohku..”. Aku dapat mendengar kilasan perbincangan mereka, namun tak kumengerti, karena rupanya bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa arab.
“Mas, mari ikut saya”.
Bersamaan dengan wanita pembaca Al qur’an dan dua orang gadis, Aku beserta anak lelaki itu beranjak menuju sebuah banguna di belakang Masjid, bangunan yang lebih besar dibandingkan bangunan lainnya.
“Begini, kedatangan saya kemari untuk menyampaikan titipan barang yang diamanhkan oleh Ustadz Amir untuk Ustadz Zohir. Saya juga mohon maaf karena kedatangan saya malam-malam seperti ini.”
“Oh saya paham, pasti karena kesulitan mencari tempat ini kan?”
Aku hanya tersenyum. Seolah Aku telah begitu akrab dengan wanita bercadar di depanku.
“Tapi maaf Mas Habib, Abah Zohir saat ini tidak sedang berada di Pondok. Beliau ada tugas keluar untuk beberapa hari. Barangkali nanti barangnya bisa dititipkan dengan saya, karena Abah perginya mungkin agak lama.”
“Kira-kira sampai berapa hari Ustadz Zohir pergi?”
“Itu belum pasti, karena tugas abah kali ini juga mendadak. Tadi siang abah baru berangkat.”
Aku merenung sesaat, teringat akan kata-kata Ustadz Amir “…..Lalu jika sudah sampai disana pastikan antum sendiri yang memberikan paketnya kepada Ustadz Zohir, ingat Ustadz Zohir pengasuh Pondok Pesantren Al-Jannah. Jangan sampai antum menitipkan kepada siapapun, meski itu adalah anak atau istri Ustadz Zohir, sekali lagi ini amanah…”Tergiang-ngianglah kata-kata Ustadz Amir “…Amanah..”
“Mungkin saya tunggu saja sampai Ustadz Zohir pulang, karena tugas saya untuk menyampikan amanah Ustadz Amir. Kata beliau saya sendiri yang harus menyampaikan langsung kepada Ustadz Zohir.”
“Benar, tapi Abah perginya agak lama, apa Mas tidak keberatan menunggu Abah sampai Abah pulang?”
“Insyaallah, amanah…..”
“Oh ya sudah, Mas tunggu abah di pondok ini saja, nanti Qomar akan mengantarkan Mas Habib kesalah satu kamar di asrama ini, dan ini ada pakain ganti untuk Mas Habib, saya tau pasti Mas Habib tidak membawa pakaian ganti, jadi mungkin pakaian alakadarnya ini bisa di kenakan sementara waktu. Ini dulu pakaian kakak saya, semoga pas untuk Mas habib.”
Lalu wanita bercadar itu berkata kepada anak yang sedari tadi mengantarku, yang kutau bernama Qomar. Sekali lagi dengan menggunakan bahasa arab yang tak kumengerti.
“Mari ikut saya Mas, “
”I..iya..terimakasih, terimakasih banyak” Aku beranjak dari ruangan itu “Saya permisi dulu Mbak Fatimah. Assalamu’alaikum..”
“Waalaikum salam, selamat beristirahan Mas.”
Hanya matanya yang tampak, tapi Aku yakin seandainya singkap itu terbuka, akan tampak senyumannya yang Aku tak tau seperti apa., “Subhanallahh, maha indah Allah yang menciptakan mata indah itu..sangat halus dan menentramkan”.
“Astaghfirullah……” Aku tersadar bahwa Aku tak boleh berfikir lebih dari yang seharusnya, Aku tak tau siapa wanita itu, apakah ia telah menjadi milik orang lain atau belum, yang jelas Aku tak memiliki sedikitpun hak untuk itu.
***
5 April 2000
Sudah dua hari Aku berada di podok ini, merasa hanya menjadi benalu, “Bagaimana jika kuisi waktuku dengan turut mengajar, bukankah Aku sarjana lulusan Fakultas Keguruan,..” akhirnya hari itu juga Aku menghadap Fatimah, ustadzah yang menjadi pimpinan Pondok sementara menggantikan Ustadz Zohir, srikandi yang menyandang mahkota kehalusan bidadari, dan wanita yang mengankat pedang perjuangan di jalan Allah, ketinggian ilmunya, tutur kata lembut nan bujaksana, serta sikap tangguh yang siap sedia, “Ya Allah…semoga Engkau mempertemukan Aku dengan jodohku yang seperti Fatimah, yang begitu halus nan lembut, yang solihah sebagai seorang istri, untuk menjadi sahabat dan nahkoda dalam mengarungi laut kehidupan, menjadi ibu untuk anak-anakku, dan dalam renungan hati serta rintihan do’a ini, semoga Engkau mengampuni hambamu yang telah meminta terlampau banyak pada-Mu….”
21 April 2000
Ini adalah hal yang berbeda, tanpa kusadari telah hampir satu bulan Aku berada di Pondok ini, menjadi guru, dan menjadi kakak bagi para santri, Aku hampir lupa bahwa tujuanku adalah untuk menyampaikan amanah bukan untuk mengajar. Subhanallah…..namun Aku bahagia di tempat ini, berbaur dengan pola kehidupan yang hangat nan bersahaja, bersatu sebagai satu kesatuan ikatan persaudaraan dengan para santri…”Allahuakbar..seandainya Aku memiliki waktu lebih banyak untuk tempat ini, maka alangkah senangnya Aku Ya Allah..”
Pagi itu, saat Aku dan santri tengah melaksanakan kebersihan pondok sebagai rutinitas tiap Jum’at, dari kejauhan gerbang hadir dua orang berpeci dan satunya mengenakan sorban yang bersandar di lehernya, “Ustadz Amir..!!” Aku sedikit panik menyadari itu adalah Ustadz Amir, dan di sebelahnya lelaki yang tampak telah lanjut usia namun Masih segar menyungging senyum, dan amat mirip dengan Ustadz Amir. Mengetahui kedatangan dua orang itu, para santri berbondong-bondong menyalami dua orang itu, “Ahlan wasahlan ya Ustadz…” kedengar sepatah kata dari seorang santri, selamat datang Ustadz, kurang lebih seperti itu artinya.
“Assalamu’alaikum Akh Ali Habsi Al Habib, apa kabar antum..” Ustadz Amir menyalamiku dan memeluku, seperti saudara yang telah begitu akrab,
“Waalaikum salam Ustadz, apa kabar, wah saya jadi nggak enak nih, “
“Oya, kenalkan ini abah saya, Ustadz Zohir, “ Aku terkejut, Ustadz Zorir adalah ayah dari Ustadz Amir, berarti Fatimah adalah adik dari Ustadz Amir, dan pakaian yang Aku kenakan, berarti pakaian Ustadz Amir…
“Assalamu’alaikum Ustadz, saya Habib, lengkapnya Ali Habsi Al Habib, “
“Wa’alaikumsalam warohmatullah hiwabarokatuh, subhanalah ini yang bernama Ali, yang namanya sama seperti menantu Rasullulah calon suami Fatimah,” Alisku mengrenyit mendengar ungkapan itu yang agak aneh menurutku,
“Oh ya mari kita berbincang di dalam saja,” tawar Ustadz Amir, yang terasa telah begitu akrab di pondok ini,
“Oh ya, tapi saya mau mengambil sesuatu dulu ustadz, permisi sebentar,”
“Nanti saja akh, kita Masuk dulu, jangan terlalu terburu-buru,”
“Oh ya, baiklah ustadz,”
“Aha satu lagi, mulai saat ini jangan memanggil saya dengan panggilan ustadz akh,”
“Lho kenapa ustadz?”
“Kedengaranya ya…kurang enak saat antum yang mengucapkan, seolah saya telah begitu tua, panggil saya dengan sebutan Amir atau ya..apalah terserah antum, yang jelas jangan ustadz lagi,”
“Insayaah ustadz, eh.. Mas..:”
***
“Bagaimana Mas Habibi, antum bersedia?”
Aku benar-benar terkejut. Kupandangi gemintang malam ini, menghirup halusnya angin yang menjadi saksi perjalananku di sisni. Gejolak jiwa dengan gemuruh tak tertahan menggelegar.
“Tetapi saya terlalu jauh dari kehidupan ini, apa lagi saya tidak memiliki kualifikasi di bidang ini, saya tidak pandai berbahasa arab, saya tidak banyak paham ilmu-ilmu agama, dan tidak ada latar belakang santri dalam hidup saya. Lagi pula dia terlalu istimewa untukku, Aku merasa tak pantas menyanding dia, mahasiswi lulusan Al-Azhar, hafiz Qur’an yang pengetahuan agamanya melibihi Aku.”
“Asal antum memiliki tekat belajar dan niat kuat untuk itu, insyallah saya akan membantu antum.”
“Maksudnya Mas?”
“Antum akan saya rekomenmdasikan untuk menempuh pendidikan di Mesir, jadi sembari antum belajar ilmu agama, antum juga bisa langsung belajar berbahasa arab. Bersedia akh?”
“Apa yang Mas Amir nilai dari saya sampai Mas memilih saya?”
“Tanggung jawab antum, karena seorang pemimpin harus memiliki sikap amanah yang kokoh, antum telah membuktikan itu.”
“Amanah seperti ini banyak yang bisa melaksanakan, hanya saja selama proses itu saya menemukan hambatan untuk menyampaikan amanah itu. Apa yang terjadi seandainya saat itu tidak turun hujan, lalu saya tidak tersesat mencari tempat ini, lalu saya langsung memberikan paket berisi hiasan dari kaca yang bentuknya serupa apel itu siang itu juga saat Ustadz Zohir Masih ada di sini, pasti setiap orang juga bisa.”
“Tetap saja akan lama, karena Abah pergi dari pondok setelah antum datang, itu semua sudah saya rencanakan. Sudah banyak orang yang saya berikan tugas sama, tetapi hanya antum yang bisa menjaga amanah itu. Karena saya ingin mencarikan calon suami untuk adikku Fatimah dan juga yang dapat memikul tanggung jawab sebagai kepala Pesantrren ini." Aku tertunduk dalam, di sebuah sisi Aku seharusnya senang akan memperistri mutiara itu, tetapi……
“Ini, antum silahkan hubungi Ibu antum, jika yang menjadi Masalah adalah restu Ibunda antum maka antum silahkan hubungi ibunda antum. Oh ya, hampir lupa, jadi taukah antum Akh Habib kalau souvenir kaca berbentuk itu adalah warisan turun temurun keluarga kami, jadi benda itu telah bergulir dari generasi ke generasi, menjadi saksi perjuangan tetua kami dalam mempertahankan kehidupan pesantren sampai saat ini, dan selanjutnya adalah giliran antum yang akan menjaganya untuk generasi selanjutnya,” Aku baru tau kalau barang yang kuanggap sepele itu adalah barang istimewa di keluarga ini, Subhanallah…Allah masih menjagaku dari musibah yang dapat mengancam barang itu saat menagntarkannya,
***
Masih kuingat saat indah itu 28 Mei 2000, gemerlap lampu hias mengitari kubah Masjid Al-Jannah. Menaungi keramain di dalam Masjid, menjadi saksi atas selaksa peristiwa besar di kehidupan para santri, mengukir sejarah atas akhir dari sebuah perjuangan, kisahku yang teramat istimewa, pengantar Apel yang menemukan cintanya, apel cinta Ali dan Fatimah.. Awal januari Aku dan Fatimah akan berangkat ke Kairo Mesir, Allahuakbar….betapapun indah rencana kita, selalu lebih indah rencana yang Allah rencanakan… _suhendra Rahden Ashelard 14/12/09-21.10 WIB_